77 Tahun Polisi Presisi: Transformasi Mengawal Republik

77 Tahun Polisi Presisi: Transformasi Mengawal Republik

Oleh : M. Nasir Djamil, Anggota Komisi Hukum DPR RI dari PKS.

REPUBLIKA.CO.ID, Mengapa  serdadu militer namanya “Tentara Nasional Indonesia” dan korps Bhayangkara berseragam coklat tua itu diberi nama “Polisi Republik Indonesia”?  Apakah penamaan itu sesuatu yang disengaja atau sebaliknya. Saya yakin militer dan polisi adalah dua entitas yang berbeda. Filosofi penamaan “Nasional” dan “Republik” bukanlah sesuatu yang tidak disengaja. Begitupun saya berasumsi tidak banyak diantara kita yang mengetahui dan memahami filosofi penamaan itu.


Salah satu buah reformasi adalah pemisahan polisi dari militer (saat orde baru bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia- ABRI). Semasa bersama ABRI, posisi polisi seperti “anak tiri”. Untunglah ada Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri. Dua tahun setelah itu  terbitlah Undang-Undang Nomor 2  Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia. Di sinilah babak baru mereformasi polisi agar menjadi lebih sipil. Pangkat yang dulunya lebih lekat dengan militer diubah. Kapten, misalnya, diubah menjadi ajun komisaris polisi (AKP). Kolonel menjadi komisaris besar (Kombes) dan letnan jenderal (Letjen) berganti komisaris jenderal (Komjen). Reformasi instrumental, struktur birokrasi, dan kultural pun digesa dalam setiap kepemimpinan puncak  di Mabes Polri.


Tanggal 1 Juli 2023 tahun ini usia Polri hanya beda satu tahun dengan usia republik ini. Mengambil tema “Polri Presisi Untuk Negeri”, abdi negara yang pengayom,pelindung, dan pelayan masyarakat itu merayakan ulang tahunnya ke 77. Tidak dapat disangkal bahwa polisi ada di setiap sudut negeri. Kemanapun wajah dihadapkan di sana ada polisi. Mulai dari desa hingga negara. Diskresi ( kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi)  yang melekat dalam tugas dan fungsi polisi tak dapat disangkal kerap menghadirkan “abuse of power”. Itu juga sebabnya kenapa  institusi polisi adalah instansi yang paling banyak diadukan. Selain banyak diadukan, Komnas HAM RI menilai Polri menggunakan kekerasan berlebihan selama tahun 2022. Terutama saat menghadapi konflik pertanahan atau lahan yang kerap menghadap-hadapkan polisi dengan warga yang bersengketa dengan pengusaha.


Transformer


Di bawah kepemimpinan Jenderal Polisi Sigit, Polri berusaha untuk presisi. Sebuah istilah yang menggantikan  slogan “profesional, modern, dan terpercaya”  yang pernah dijalankan oleh Jenderal Tito Karnavian. Presisi  bermakna ketelitian, kecermatan, ketepatan,  dan kejituan. Semua arti itu dimaknai bahwa menghadapi tuntutan global dan keinginan menjadikan institusi Polri berkelas internasional, semua anggota  Polri , mulai dari jenderal hingga kopral harus “bebas dari kesalahan”.  Atau mirip “revolusi mental”nya Pak Jokowi. Sebuah harapan yang saat ini sedang dilakukan oleh Jenderal Sigit. 


Presisi jika ditafsirkan secara bebas juga berarti polisi terikat dengan posisinya sebagaimana diatur dalam undang-undang. Karena itu, menghadapi perubahan  sosial yang begitu cepat dan perkembangan teknologi berbasis digital, tentu tantangan kepolisian semakin beragam. Apalagi menghadapi kejahatan transnasional yang kita semakin canggih. Karena itu transformasi adalah “password”  untuk mewujudkan bahwa polisi adalah publik dan publik adalah polisi.


Perubahan adalah keniscayaan. Jika tidak mengikutinya maka sebuah institusi akan tenggelam dan hilang dari peredaran. Jenderal Sigit melalui Polri Presisinya telah melakukan sejumlah transformasi. Yakni  transformasi organisasi  dengan berusaha mewujudkan skema “Mabes Kecil, Polda Sedang, Polres Besar, dan Polsek Kuat’.  Bahkan dalam konteks membersihkan organisasi Polri dari para “pengkhianat”, Jenderal Sigit pernah menegaskan bahwa dirinya tidak ragu memecat 30, 50, atau 500 anggota Polri yang merusak. Wibawa organisasi sangat tergantung moralitas anggota Polri.


Menyiapkan semua peralatan lunak dan keras untuk mendukung transformasi operasional. Menghadapi modus pelaku kejahatan, tentu dibutuhkan peralatan yang mumpuni. Karena tidak ada aktivitas warga yang tidak melibatkan polisi baik  di darat, laut dan udara, maka segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menyempurnakannya tentu menjadi wajib ada. Terutama bagaimana menjaga perairan Indonesia yang lebih luas dari daratan.  Peralatan yang dibutuhkan bukan yang diinginkan adalah kata kunci agar organisasi Polri bisa diandalkan saat menjaga keamanan dalam negeri dan dilibatkan dalam menjaga kedaulatan dan integrasi negara. Badan Pemeliharan Keamanan (Baharkam), Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) dan Korps Brigade Mobil (Brimob) tentu membutuhkan peralatan guna memastikan operasi mereka berjalan  sesuai dengan target dan harapan. 


Transformasi pelayanan publik menghendaki polisi haruslah humanis. Wajah keras  diubah menjadi wajah teduh yang berkarakter melayani. Pengurusan administrasi warga baik personal  maupun komunal haruslah bebas pungutan liar. Karena itu adalah hal yang patut dipertahankan saat Kapolri Jenderal Sigit memerintahkan Kapolda hingga Kapolsek menyebar nomor handphone untuk cegah pungutan liar.  Aparat polisi yang langsung bersentuhan dengan masyarakat diharapkan menampilkan “skill” dan “performance” yang menghilangkan birokrasi berbelit-belit. Soal ujian pembuatan surat izin mengemudi (SIM) yang gagal, arahan Jenderal Sigit agar bisa langsung diulang. Ia juga mengkritik tes memperoleh SIM yang menurutnya terlalu berlebihan.


Pelayanan publik yang disandang oleh polisi bukanlah bersifat pasif. Polri diharapkan mengubah diri dan organisasinya untuk aktif memastikan tidak ada hambatan dalam semua urusan publik. Sebagai alat negara, Polri harus bertanggung jawab penuh bahwa akses warga terhadap pelayanan publik tidak boleh terganggu. Baik yang dilakukan oleh Polri maupun organisasi pemerintah. Apalagi jika pelayanan publik itu menyangkut investasi yang mampu mengungkit dan meningkatkan perekonomian masyarakat.


Lalu bagaimana mengawasi polisi yang punya kewenangan besar dan diskresi itu? Ini adalah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Sebab ada rasa senasib dan sepenanggungan (baca: jiwa korsa) yang kini masih membuncah. Rasa hormat terhadap junior ke senior kadang “mengganggu” kecermatan dan ketelitian polisi dalam menangani satu perkara. Independen yang disematkan ke para penyidik polisi seperti memakan buah simalakama; tak dimakan mati ayah, dimakan mati ibu. Transformasi pengawasan yang dihadirkan dalam polisi presisi idealnya bisa didahului oleh keteladanan para pimpinan Polri.


Dalam banyak kesempatan Kapolri Jenderal Sigit sering mengingatkan jajarannya. Seolah ingin lakukan “desakralisasi” institusi Polri, mantan Kabareskrim itu sering wanti-wanti agar aparat polisi jangan menyimpang. Meskipun penyimpangan bisa disembunyikan dari “warga daratan”, tapi tidak dari “warga dunia maya”. “No viral no justice” adalah salah satu contoh bagaimana warga dunia maya mengkritik penegakan hukum Polri. Jenderal Sigit juga kerap menyerukan agar Polri menyiapkan diri menjadi organisasi modern yang tidak anti kritik.


Dulu semasa Kapolri Bambang Hendarso Danuri (BHD), ada tagline “keroyok rame-rame reserse”.  Ini adalah reaksi BHD yang kerap menerima laporan bahwa aparat Polri yang bertugas di reserse sering menyimpang dan “mengkriminalisasikan” orang yang lemah. Hingga kini memang reserse masih terus wajib diawasi. Hampir mayoritas perwira menginginkan masuk dalam unit reserse selain narkoba.  Penegakan hukum oleh reserse konon kerap dibumbui “transaksional”. Reserse sepertinya “lembek” menghadapi pertambangan emas tanpa izin (PETI) karena diduga disitu ada  rupiah yang “mengalir” ke kantong oknum penyidik dan atasannya.


Bahkan kadang ada selentingan bahwa unit reserse punya tugas “sampingan” berasal dari pimpinannya langsung ataupun  tidak langsung. Perlu diingat bahwa reserse adalah jantung penegakan hukum. Jika dia hitam, maka hitam lah institusi Polri. Agar jantung itu bersih dan sehat maka transformasi pengawasan harus memastikan setiap anggota Polri yang ditugaskan di sana haruslah mereka yang pintar, cerdas dan bermoral. Berani mengatakan tidak ketika ada “intervensi” dari manapun. Pada masyarakat yang takut pada hukum, masyarakat tidak akan tunduk pada hukum bila penegakan hukum lemah, inkonsisten, transaksional, dan tidak dapat dipercaya.


Kembali ke soal mengapa kata “Republik” disematkan kepada polisi tidak lain dan tidak bukan karena Polri adalah kehendak rakyat. Ini tergambar dari pengertian republik yang berarti sebuah negara dimana tumpuk pemerintahan akhirnya bercabang dari rakyat, bukan prinsip keturunan bangsawan dan sering dipimpin oleh seorang presiden. Pasal 1 ayat (1) UUD Tahun 1945 menyebutkan bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Adapun Pasal 1 ayat (2)  mengatur bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar . Sedangkan Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.


Dari ketiga pasal tersebut di atas saya memahami  bahwa polisi dan republik ini telah “bersetubuh” menjadi “dwi tunggal”. Nasib negara hukum dan kedaulatan rakyat  ternyata ada di tangan polisi. Jika polisinya presisi maka selamat lah republik ini. Jika polisinya khianat maka kiamat lah republik ini. Dirgahayu untuk Polri Presisi. Kami titipkan republik ini kepada bapak dan ibu polisi di seluruh  penjuru negeri.



Sumber: InformasiRiau.com