REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Boikot terhadap Unilever dan perusahaan multinasional lain yang beroperasi di Israel telah memperburuk hilangnya pangsa pasar perusahaan konsumen global tersebut di Indonesia. Perusahaan tersebut bersaing dengan pesaing lokal yang lebih kecil dan seringkali lebih murah.
Unilever, seperti perusahaan barang konsumen besar lainnya, telah dikecam di banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim karena apa yang oleh sebagian pembeli dianggap sebagai dukungan diam-diam terhadap serangan militer Israel di Gaza melalui aktivitas bisnis.
Unilever pertama kali mengatakan pada Februari lalu bahwa pertumbuhan penjualan di Asia Tenggara telah terganggu oleh pembeli di Indonesia yang memboikot mereknya sebagai respons terhadap situasi geopolitik. Pada bulan Oktober, perusahaan tersebut mengungkapkan pangsa pasarnya di Indonesia telah menurun menjadi 34,9 persen pada kuartal ketiga dari 38,5 persen tahun sebelumnya.
Bisnis grup yang terdaftar di Jakarta menghasilkan 2,39 miliar dolar AS pada tahun 2023. Ini berkontribusi 3,8 persen terhadap penjualan grup, tetapi lingkungan perdagangannya sulit.
Meskipun memiliki merek-merek besar termasuk deodoran Axe, es krim Cornetto, dan bubuk penyedap Royco, Unilever telah berjuang untuk meningkatkan pangsa pasar selama hampir satu dekade karena pembeli beralih ke merek lokal yang lebih murah.
Menurut firma riset Kantar, merek Royco, Lifebuoy, dan Sunlight milik Unilever termasuk di antara 10 merek konsumen teratas di Indonesia pada tahun 2020. Selama pandemi COVID-19, laporan laba menunjukkan Unilever menaikkan harga secara tajam untuk mengimbangi kenaikan biaya.
Pada tahun 2023, hanya Royco yang bertahan di 10 besar dengan masuknya produsen deterjen lokal SoKlin, Wings Group, dan produsen biskuit Roma, Mayora Indah.
Unilever juga menghadapi persaingan dari perusahaan kecantikan halal lokal, Wardah, Aice, yang membuat es krim, dan pemain internasional baru seperti Skintific dari China.
Di toko daring lokal, sebotol sabun cair berukuran 400 mililiter yang dibuat oleh merek Nuvo milik Wings Group dijual sekitar 20 persen lebih murah daripada sabun cair Lifebuoy milik Unilever dengan ukuran yang sama. Sebotol deterjen cair SoKlin milik Wings berukuran 700 ml dijual sekitar 7 persen lebih murah daripada deterjen Rinso milik Unilever.
Tantangan penetapan harga Unilever di Indonesia muncul karena data terkini menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah Indonesia menyusut antara tahun 2019-2024 akibat PHK dan berkurangnya kesempatan kerja. Ini mendorong permintaan akan bahan makanan yang lebih murah, menurut asosiasi pengecer lokal Tutum Rahanta.
Unilever menargetkan harga yang lebih konsisten, menempatkan produknya di toko yang “lebih banyak” dan “lebih baik”, serta meningkatkan cara mengelola inventaris dan menjual serta mendistribusikan produk secara daring, katanya.
Loading…
sumber : Reuters
Sumber: Republika