REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Allah SWT menciptakan manusia untuk tujuan agar beribadah kepada Allah SWT dan tidak menyekutukan Allah SWT.
Allah SWT juga menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi, bukan hanya untuk menjadi pemimpin bagi yang lain tetapi juga pemimpin bagi dirinya sendiri.
Tujuan ini merupakan amanah yang Allah SWT titipkan kepada manusia, apakah dia mampu melaksanakannya.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Mahamendengar lagi Mahamelihat,” (QS An Nisa ayat 58).
Dalam tafsir Kementerian Agama ayat ini memerintahkan agar menyampaikan “amanat” kepada yang berhak. Pengertian “amanat” dalam ayat ini, ialah sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Kata “amanat” dengan pengertian ini sangat luas, meliputi “amanat” Allah kepada hamba-Nya, amanat seseorang kepada sesamanya dan terhadap dirinya sendiri.
Amanat AllahSWt terhadap hamba-Nya yang harus dilaksanakan antara lain melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Semua nikmat Allah SWT berupa apa saja hendaklah kita manfaatkan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada-Nya.
Amanat seseorang terhadap sesamanya yang harus dilaksanakan antara lain mengembalikan titipan kepada yang punya dengan tidak kurang suatu apa pun, tidak menipunya, memelihara rahasia dan lain sebagainya dan termasuk juga di dalamnya ialah:
a. Sifat adil penguasa terhadap rakyat dalam bidang apapun dengan tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain di dalam pelaksanaan hukum, sekalipun terhadap keluarga dan anak sendiri, sebagaimana ditegaskan Allah dalam ayat ini. yang artinya “Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil….” (QS an-Nisa 58).
Dalam hal ini cukuplah Nabi Muhammad SAW menjadi contoh. Di dalam satu pernyataanya beliau bersabda:
لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا “Andai kata fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya saya potong tangannya.” (riwayat asy-syaikhan dari Aisyah)
Baca juga: Ketika Kabah Berlumuran Darah Manusia, Mayat di Sumur Zamzam, dan Haji Terhenti 10 Tahun
b. Sifat adil ulama (yaitu orang yang berilmu pengetahuan) terhadap orang awam, seperti menanamkan ke dalam hati mereka akidah yang benar, membimbingnya kepada amal yang bermanfaat baginya di dunia dan di akhirat, memberikan pendidikan yang baik, menganjurkan usaha yang halal, memberikan nasihat-nasihat yang menambah kuat imannya, menyelamatkan dari perbuatan dosa dan maksiat, membangkitkan semangat untuk berbuat baik dan melakukan kebajikan, mengeluarkan fatwa yang berguna dan bermanfaat di dalam melaksanakan syariat dan ketentuan Allah SWT.
C. Sifat adil seorang suami terhadap istrinya, begitupun sebaliknya, seperti melaksanakan kewajiban masing-masing terhadap yang lain, tidak membeberkan rahasia pihak yang lain, terutama rahasia khusus antara keduanya yang tidak baik diketahui orang lain.
Amanat seseorang terhadap dirinya sendiri; seperti berbuat sesuatu yang menguntungkan dan bermanfaat bagi dirinya dalam soal dunia dan agamanya. Janganlah dia membuat hal-hal yang membahayakannya di dunia dan akhirat, dan lain sebagainya.
Ajaran yang sangat baik ini yaitu melaksanakan amanah dan hukum dengan seadil-adilnya, jangan sekali-kali diabaikan, tetapi hendaklah diindahkan, diperhatikan dan diterapkan dalam hidup dan kehidupan kita, untuk dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sumber: Republika