REPUBLIKA.CO.ID, BANYUASIN — Lahan pertanian di seluruh Indonesia diupayakan Kementerian Pertanian RI melalui Program Strategic Irrigation Modernization and Urgent Rehabilitation Project (SIMURP) untuk mengurangi hingga meniadakan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan pengukuran dan analisis pada lokasi sampel penyuluhan berupa Demonstration Plot (Demplot) Pertanian Cerdas Iklim atau Climate Smart Agriculture (CSA) dari SIMURP.
Upaya menekan emisi GRK dilakukan tim CSA di Provinsi Sumatra Selatan, khususnya lokasi kegiatan SIMURP di Kabupaten Banyuasin. Pengujian berlangsung di Desa Mekarsari, Kecamatan Karang Agung Ilir pada hamparan padi seluas 30 hektar, varietas Inpari usia 42 hingga 64 hari setelah tanam (hst).
Tim Monitoring Harian CSA Banyuasin pada Senin (29/5) melaporkan gangguan hama dan penyakit tergolong ringan, dengan kewaspadaan utama pada walang sangit.
Bustanul Arifin Caya, Kepala Pusat Penyuluhan Pertanian (Pusluhtan) dari Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian Kementan (BPPSDMP) menyebut tiga sasaran pencapaian CSA yakni yakni peningkatan Indeks Pertanaman (IP), produktivitas dan pendapatan sektor pertanian, adaptasi dan membangun ketangguhan terhadap Dampak Perubahan Iklim (DPI), dan berupaya mengurangi hingga meniadakan emisi GRK.
Langkah SIMURP sejalan arahan Menteri Pertanian RI Syahrul Yasin Limpo bahwa menjaga lingkungan juga sangat penting dilakukan dalam aktivitas pertanian.”Di balik produktivitas yang kita genjot, lingkungan harus diperhatikan, yang bisa kita lakukan adalah menurunkan emisi gas rumah kaca atau GRK,” katanya.
Sementara Kepala BPPSDMP Kementan, Dedi Nursyamsi mengatakan Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 29 persen dengan upaya sendiri di bawah business as usual (BAU) pada 2030, sementara dengan dukungan internasional hingga 41 persen.
“Kita butuh aksi adaptasi. Setiap aksi yang dilakukan, untuk mengantisipasi dampak buruk perubahan iklim serta menjaga kedaulatan pangan. Hal ini menjadi prioritas utama pembangunan pertanian,” katanya.
Dedi Nursyamsi mengatakan, dibutuhkan juga aksi mitigasi, dimana setiap aksi harus bertujuan pada penurunan emisi GRK, tetapi harus mendukung upaya peningkatan produksi dan produktivitas pertanian.
“Sudah ada inovasi teknologi mitigasi GRK yang diterapkan petani seperti menerapkan pengairan berselang, penggunaan bahan organik matang, varietas padi rendah emisi metana paket teknologi Climate Smart Agriculture atau CSA.” katanya.
Ada pula sistem integrasi tanaman dan ternak, kata Dedi Nursyamsi, berupa Paket CSA, penggunaan kalender tanam, olah tanah bajak dalam, pemberian bahan organik, penggunaan Perangkat uji tanah sawah (PUTS) dan Bagan Warna Daun (BWD), pemanfaatan bibit unggul bermutu, bibit usia muda, jarak tanam legowo dan pengairan intermittent.
Demplot CSA
Kapusluh Bustanul Arifin Caya di Subang mengatakan penurunan emisi GRK rata-rata 37 persen di lokasi Demplot CSA SIMURP, direkomendasi oleh Balai Penerapan Standar Instrumen (BPSI) Pati.
“Budidaya padi sawah merupakan salah satu sumber emisi GRK, yakni gas metana (CH4) yang dilepas dari lahan persawahan tergantung jenis tanah, kelengasan tanah, suhu tanah dan varietas padi,” katanya.
Program SIMURP merupakan modernisasi irigasi strategis dan program rehabilitasi lintas kementerian dan lembaga yang melibatkan Kementan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan target lokasi Daerah Aliran Sungai (DAS).
Terkait kegiatan pengujian emisi GRK di di Desa Mekarsari, Kecamatan Karang Agung Ilir di Kabupaten Banyuasin, tim SIMURP terlebih dahulu mengirim sampel tanaman dari Demplot CSA ke Balai Pengujian Standar Instrumen Lingkungan Pertanian (Balingtan) di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Penyuluh Pusat Kementan, Susi Deliana mengatakan hasil uji emisi dapat diketahui setelah dikirim ke Balingtan Pati saat usia tanam padi 30, 60 dan 90 hst.
“Saat ini usia tanam 42 hingga 64 hst, jadi sudah dua kali mengirim sampel ke Balingtan Pati, yang ketiga saat usia tanam padi 90 hst untuk uji sampel final,” katanya via pesan singkat WA.
Kapusluh Bustanul Arifin Caya menambahkan, sektor pertanian tergolong rentan terhadap sejumlah gangguan di antaranya perubahan iklim, pemanasan global, efek rumah kaca, banjir, kekeringan, serta peningkatan permukaan air laut.
“Pertanian Cerdas Iklim pada Program SIMURP adalah pertanian ramah lingkungan, hemat air dan berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan indeks pertanaman, produktivitas, dan pendapatan petani sehingga terjadi peningkatan kesejahteraan petani,” katanya lagi.
SIMURP, kata Kapusluh Bustanul, berupaya membuka cara pandang bagaimana bertani cerdas iklim yang sehat, ramah lingkungan, dan berkelanjutan dengan berbagai kegiatan.
“Dari kegiatan CSA diharapkan dapat dilakukan edukasi kepada petani yang bergabung dalam kelompok tani, sehingga dapat segera bertani secara cerdas iklim dan efisien menggunakan air,” kata Kapusluh Bustanul AC.
Petani, katanya lagi, diajak dan didorong mengurangi penggunaan pupuk kimia dan beralih ke pupuk organik, menggunakan bibit varietas unggul dan tahan hama, menggunakan pestisida nabati, dan lain sebagainya.
”Intinya, kita mulai berorientasi ke pertanian cerdas iklim dengan mengembalikan kesuburan tanah. Utamanya, untuk menghasilkan produktivitas padi yang tinggi dan sehat tanpa merusak kesuburan lahan,” kata Bustanul.
Kapusluh Bustanul AC mengatakan lokasi kegiatan Program SIMURP tersebar pada 24 kabupaten di 10 provinsi yang merupakan daerah irigasi maupun daerah rawa di antaranya Provinsi Sumatera Utara di Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai; Kabupaten Banyuasin dan Musi Banyuasin di Sumatera Selatan.
Pulau Jawa meliputi Kabupaten Cirebon, Indramayu, Karawang, Subang di Jawa Barat; tujuh kabupaten di Jawa Tengah yakni Banjarnegara, Purbalingga, Purworejo, Grobogan, Demak, Kebumen, Brebes; dan Kabupaten Jember di Jawa Timur.
Sementara di Kalimantan hanya Kabupaten Katingan di Kalimantan Tengah; wilayah Sulawesi di Kabupaten Takalar, Bone, Pangkep, Pinrang; Konawe di Sulawesi Selatan; Kabupaten Konawe di Sulawesi Tenggara; Kabupaten Lombok Tengah di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nagekeo di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sumber: InformasiRiau.com