REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengkritik keras kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang tidak lagi mewajibkan peserta pemilu melaporkan dana sumbangan kampanye yang diterimanya. Menurut Fahri, kebijakan tersebut akan membuat Pemilu 2024 berlangsung liar.
“Pesta akan semakin liar! Dan tentunya akan sangat bahaya bagi demokrasi di Indonesia,” kata Fahri lewat keterangan tertulisnya, Rabu (13/6/2023).
Fahri menjelaskan, pelaporan sumbangan dana kampanye merupakan instrumen penting untuk menilai apakah pemilu berjalan adil atau tidak. Sebab, dana merupakan salah satu kunci kemenangan.
Ketika KPU tak lagi mewajibkan laporan dana sumbangan, Fahri khawatir peserta Pemilu 2024 menerima uang melebihi batas sebagaimana diatur dalam undang-undang. Uang tersebut bisa saja digunakan untuk membeli suara pemilih alias praktik politik uang.
“Kalau tidak dikontrol dan dibatasi, maka uang bisa menjadi sebab kemenangan utama, terutama untuk money politics atau politik uang,” kata Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2015 yang juga bakal caleg DPR RI Pemilu 2024 itu.
UU 7/2017 tentang Pemilu mengatur bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya boleh menerima dana sumbangan kampanye maksimal Rp 2,5 miliar dari perseorangan dan maksimal Rp 25 miliar dari kelompok atau perusahaan maksimal.
Ketentuan serupa berlaku bagi partai politik untuk pembiayaan kampanye pemilihan calon anggota DPR dan DPRD. Sedangkan calon anggota DPD boleh menerima dana sumbangan kampanye paling banyak Rp 750 juta dan maksimal Rp 1,5 miliar dari kelompok atau perusahaan.
KPU RI diketahui tidak memuat pasal yang mewajibkan peserta pemilu menyampaikan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) dalam rancangan Peraturan KPU tentang Dana Kampanye. Komisi II DPR RI pada akhir Mei 2023 lalu menyetujui rancangan peraturan tersebut. Beleid itu akan segera diundangkan.
Padahal, pasal yang mewajibkan LPSDK selalu ada dalam regulasi KPU pada setiap gelaran pemilu dan pilkada sejak tahun 2014. Ketika LPSDK resmi dihapuskan, maka semua peserta Pemilu 2024, mulai dari pasangan capres-cawapres hingga partai politik, tidak lagi wajib melaporkan sumbangan kampanye kepada KPU segera setelah dana diterima selama masa kampanye.
Peserta pemilu hanya wajib menyampaikan dana sumbangan yang diterimanya dalam Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Rahmat Bagja mengakui bahwa penghapusan LPSDK itu akan membuat pihaknya sulit melakukan pengawasan. Sementara itu, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebut penghapusan LPSDK akan membuka ruang bagi peserta pemilu menerima dana sumbangan tak sesuai ketentuan, termasuk uang hasil tindak pidana.
KPU RI saat rapat dengan Komisi II DPR pada akhir Mei lalu, menyampaikan bahwa kewajiban pelaporan LPSDK dihapus karena instrumen tersebut tidak diatur dalam UU 7/2017 tentang Pemilu. LPSDK dihapus juga karena sulit menempatkan jadwal penyampaiannya lantaran masa kampanye Pemilu 2024 hanya 75 hari saja (28 November 2023-10 Februari 2024).
KPU juga berdalih bahwa penghapusan LPSDK dilakukan karena informasi mengenai penerimaan sumbangan dana kampanye bakal termuat semuanya dalam LADK dan LPPDK.
Sumber: Republika