REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Agama kerap dijadikan sebagai bahan materi komedi, khususnya di kalangan komika. Tujuannya, tentu untuk memunculkan sisi kelucuan yang dapat menghibur para pendengar atau penontonnya. Ada yang berakhir dengan apresiasi, dan ada pula yang berujung kontroversi.
Lantas seperti apa rambu-rambu yang perlu diperhatikan saat membuat materi komedi dengan topik agama?
Komedian senior Indrodjojo Kusumonegoro atau yang populer sebagai Indro Warkop, menjelaskan, sebetulnya secara global tidak ada aturan baku bagi para komika saat hendak membuat materi komedi. Ini karena stand up comedy adalah sesuatu yang liberal dan hidup di negara yang liberal, sehingga tidak ada batasannya.
“Nah ketika bicara stand up comedy Indonesia, maka batasannya pertama adalah apa-apa yang berlaku di Indonesia secara etika. Itu saja sebetulnya. Gampang banget. Ketika bicara soal agama, banyak sekali batasan mengenai agama, dan apa yang paling penting? (Yaitu) SARA,” kata dia kepada Republika, Senin (15/5/2023).
Kedua, menurut Indro, prinsip terpenting yang diperlukan bagi seorang komika Indonesia adalah jangan mengambil materi kalau tidak mengerti betul-betul. Seseorang disebut komika ketika ia sudah mumpuni. Dikatakan mumpuni jika komika punya ilmu dan matang pada topik yang akan dibawakan.
Indro melanjutkan, jika seorang komika ingin membawa topik agama pada penampilan stand up comedy, maka perhatikan apakah materinya mengandung SARA. Kalau tidak paham dengan matang terhadap topik agama tersebut, lebih baik hindari.
“Ketika kita bicara comic, mungkin global saja aturannya. Tetapi ketika bicara komika, berarti dia dari Indonesia. Etika yang harus dipenuhi sebagai orang Indonesia, harus dipenuhi. Misalnya, yang paling mudah itu SARA. Kalau kamu gak menguasai betul, gak usah masuk ke situ, karena itu akan menimbulkan gejolak,” kata Indro.
Bahkan, ada satu hal yang bagi dirinya adalah prinsip. Seorang komika boleh saja menyatir atau mengkritik, tetapi jangan sampai dia membuat keresahan. Indro kemudian mencontohkan bagaimana grup Warkopnya dahulu, ketika mereka dikejar pemerintah karena kritik sosialnya. Namun, Indro mengatakan, tidak pernah bisa ditangkap karena mereka tidak membuat keresahan.
“Kami mengkritisi dan itu hak seluruh rakyat Indonesia untuk melakukan kontrol sosial. Ada rambu dan etika sebagai sebuah negara,” ujarnya.
Indro juga menyampaikan, secara akademik, kritik itu disertai dengan solusi. Namun, seorang komedian tidak akan mencapai kelucuan jika dua itu digunakan. “Kalau komika pakai kritik dan solusi, berarti dia ceramah. Mau dapat lucu di mana, berarti harus mengambil satire. Satire ini juga pakai ilmu, tidak menyebut nama, institusi,” kata dia.
Mumpuni saat tampil berkomedi, terang Indro, juga meliputi attitude. Misalnya saat melakukan roasting kepada orang tertentu. Memiliki attitude ketika komika tersebut melakukan roasting di depan orangnya, dan memberi hak jawab. Hak jawab ini terserah kepada orang yang di-roasting, apakah ingin menggunakan atau tidak.
“Atau me-roasting orang yang tidak ada orangnya, maka dia harus meminta izin kepada orangnya. Itu etika. Kenapa? Karena ini Indonesia. Bukan Amerika. Amerika mungkin liberal banget,” tuturnya.
Bahkan aktor Will Smith sampai naik ke panggung Academy Awards pada 2022 untuk menampar Chris Rock setelah membuat lelucon soal penampilan istri Smith, Jada Pinkett Smith. “Tidak ada tuntut menuntut juga. Karena liberal banget. Tetapi ini Indonesia. Kita sebagai penghibur di Indonesia, dibatasi oleh hal-hal yang Indonesia banget, kultur kita,” paparnya.
Menurut Indro, ada koridor yang jelas bagi komika Indonesia saat mau tampil. Apalagi ketika seorang komika ingin membawakan topik agama. Ia harus benar-benar paham agama itu, dan jika ingin menyitir ayat suci, harus benar-benar mengerti.
“Kamu harus tahu benar-benar agama. Kalau menyitir ayat, ya harus mengerti banget. Gak bisa sepotong-potong. Makanya, saya saat SUCI kemarin itu tegas banget, lu kalau bicara soal agama, anak-anak pesantren, ya lu ngomong soal keadaan di pesantren. Jangan masuk ke ayat, atau hal-hal yang sensitif,” jelasnya.
Indro juga menekankan, meski satire yang akan disampaikan itu mengena ke banyak orang, tetapi jika ada potensi kegaduhan, lebih baik dihindari. Dalam kesempatan itu dia juga mengingatkan, komika itu penghibur, sehingga hiburannya harus mengena dan tidak membuat keresahan.
“Misalnya saya membimbing seseorang untuk masuk pada satire, saya akan menilai ilmunya, sejauh mana dia bisa melakukan satire, tetapi saya juga akan melihat hasilnya, wah ini potensial membuat keresahan, lebih baik gak usah,” katanya.
Sumber: Republika