REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA –Pertama kali sebelum berhaji, maka sesorang harus berihram. Visi suci haji adalah melepas keangkuhan dan ego yang melekat pada simbol baju yang putih tanpa jahitan dan simbol Dolce Gaban, Louis Vitton, atau merek terkenal lainnya.
Hal itu dikatakan Ramdansyah, khatib sholat Idul Adha 1444 Hijriah yang berlangsung di Jalan Raya Matraman, depan Gereja Koinonia, Jakarta Timur, Kamis ,(29/6/2023).
“Ada apa di balik Ihram? Pertama, siapapun yang berhaji salah satu rukunnya ihram malah memerintahkan penggunaan pakaian putih tanpa jahitan,” ujarnya.
Ramdansyah mengomentari prilaku flexing yang sering dilakukan selebriti, istri dan anak pejabat yang tidak sesuai dengan Ihram.
Flexing adalah perilaku seseorang yang memamerkan atau menunjukkan kekayaan atau kemewahan yang dimilikinya. Biasanya yang dipamerkan adalah yang melekat pada tubuh orang tersebut. Benda-benda yang melekat seperti sepatu, jam tangan, baju dengan nilai ratusan hingga mencapai milyar.
“Kita diingatkan bahwa flexing bukan tindakan yang tepat di saat banyak umat menderita kesusahan dan kelaparan. Dalam keadaan ihram, semua ini ditanggalkan agar manusia sederajat,” ujarnya.
Ia mengatakan manusia tampak sebagai manusia yang sama. Inilah humanisasi sekaligus liberasi. Saat memakai pakaian non ihram simbol ego manusia menjadi lebih tampak.
Ia mencontohkan ketika sholat khususnya di hari raya Idul fitri, semua ingin menggunakan pakaian baru dengan merek yang sedang ramai di televisi, tik tok, atau tokopedia.
Dengan sarung, baju koko atau kopiah yang dimiliki, maka dirinya ingin dikenali sebagai orang berkelas.
“Baju baru, sarung baru, kopiah baru dan sendal baru menjadi penanda bahwa kita berbeda. Kita bukan kaleng-kaleng, sementara yang pergi sholat dengan perangkat tahun-tahun sebelumnya adalah kaleng-kaleng” tambahnya.
Islam memandang sama manusia kecuali derajat kepatuhannya kepada Allah. Menjalankan Haji menunjukan agar menjadi orang yang berpikir bahwa semua sama, kecuali ketaatan kepada Yang Maha Suci, Allah swt yang berbeda.
Ramdansyah menambahkan menjalankan haji juga merupakan perjalanan sosial yang sarat makna. Padanya terdapat seperangkat aktivitas simbolik tentang perjalanan umat manusia menuju tingkat ketakwaan sejati.
Bahkan haji adalah merupakan upaya penerapan kesetaraan baik dalam persepsi teologis maupun sosiologis.
“Coba lihat tawaf mengelilingi Ka’bah. Semua manusia bergerak seirama dan senada dalam posisi kemanusian yang sama. Tiada yang mulia maupun yang hina, karena yang ada hanyalah dua eksistensi yakni, Tuhan dan manusia yang menyatu dalam sebuah momen ritual yang unik,” ujar Ketua Yayasan Al Mukarromah Koja, Jakarta Utara tersebut.
Kedua, dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus diindahkan oleh pelaku ibadah haji.
Seperti larangan berhubungan seksual, mencabut pepohonan, menyiksa binatang, menumpahkan darah, bahkan dilarang membunuh atau menumpahkan darah.
Larangan lainnya yakni menggunakan wangi-wangian dan berhias yang bertunuan agar jama’ah haji menyadari bahwa manusia bukan materi semata-mata, bukan pula nafsu birahi.
“Dan bahwa hiasan yang dinilai Tuhan adalah hiasan ruhani. Dilarang pula menggunting rambut dan kuku supaya masing-masing menyadari jati dirinya dan menghadap kepada Tuhan sebagaimana apa adanya,” tutup Ramdansyah.
Sumber: Republika