Tri Wahyuningsih
Eduaksi | Monday, 03 Jul 2023, 11:44 WIB
Pemuda hari ini disebut-sebut sebagai penduduk asli dunia digital (digital native). Mereka banyak menghabiskan waktunya di dunia digital. Data International Telecommunication Union (ITU) menunjukkan bahwa pada 2020 terdapat 71% pemuda berusia 15—24 tahun yang menggunakan internet. Data lain menunjukkan bahwa orang Indonesia rata-rata menghabiskan 10 jam setiap harinya untuk menggunakan gadget, lebih dari separuh pelakunya adalah pemuda berusia 19—29 tahun.
Pemuda merupakan pihak yang paling adaptif terhadap perubahan teknologi digital. Dengan potensinya tersebut, para pemuda akan memainkan peran penting dalam transformasi digital global.
Terkait transformasi digital, Presiden Jokowi menyatakan bahwa ada tiga hal yang menjadi fokus utama pemerintah dalam pengembangannya, yaitu kesetaraan akses digital, literasi digital, dan lingkungan digital yang aman. (kemenkeu[dot]go[dot]id, 16-11-2022).
Arus Digitalisasi Kapitalisme Global
Kehadiran teknologi digital memang suatu hal yang tidak bisa terelakkan. Namun, upaya transformasi digital atau digitalisasi ternyata tidak mengalir begitu saja secara alami, tetapi mengikuti arus global yang diciptakan oleh negara-negara besar, yaitu mewujudkan ekonomi digital. Jadi, transformasi digital sejatinya adalah transformasi ekonomi digital.
Ekonomi digital disebut sebagai kunci masa depan ekonomi dunia, juga sebagai pilar ketahanan ekonomi pada masa pandemi Covid-19 karena mampu menyumbang 15,5% PDB global. Salah satunya melalui industri musik. 2022 menjadi tahun yang baik untuk industri musik. Menurut laporan Federasi Internasional Industri Fonograf (IFPI) terbaru, pendapatan industri musik global mencapai US$ 26,2 miliar pada 2022 dengan pendapatan terbesar berasal dari aktivitas streaming sebesar 67%. Dari jumlah tersebut, streaming berlangganan menyumbangkan pendapatan terbanyak mencapai 48,3%. Sisanya, berasal dari streaming beriklan dengan persentase 18,7%.
Selain streaming, terdapat beberapa segmen pendapatan lainnya, yakni fisik (album, kaset, piringan hitam dll) sebesar 17,5%, hak paten atau royalty sebanyak 9,4%, unduhan dan digital dengan 3,6%, serta lisensi sinkronisasi 2,4%.
Masifnya angka streaming dalam industri musik dunia bersinggungan dengan maraknya penggunaan internet yang telah banyak merevolusi konsumsi musik global. Berdasarkan laporan IFPI, mayoritas atau sebanyak 64% responden lebih memilih mengakses dan menikmati musik melalui internet (digital).
Industri hiburan popular terutama musik terus mengalami kebangkitan yang signifikan terlebih lagi pasca pandemi. Industri ini menemukan moment menarik pasar dan cuan dengan seabrek agenda konser yang memenuhi jadwal setahun belakangan. Pasar even pagelaran musik di Asia diperkirakan akan terus tumbuh hingga 3.27 % sepanjang 2023-2027 yang diprediksi akan menghasilkan volume pasar hingga US$ 4.51 miliar (statista). Sebuah industri yang menjadi magnet luar biasa untuk mengeruk keuntungan. Sebagai salah satu pasar potensial, Indonesia tak ketinggalan menjadi negara bidikan utama.
Hal ini terlihat jelas dari agenda konser yang akan diadakan di Indonesia sepanjang tahun 2023 ini. Awal tahun 2023, ada Ne-yo, Nightwish, Cigarettes After Sex, ITZY, Westlife, Simple Plan, NCT Dream, Blackpink, Red Velvet dan Suga BTS telah sukses menggelar konser sepanjang bulan Januari hingga Mei, dengan harga tiket mulai dari 600 ribuan hingga 4 jutaan habis terjual.
Pada konser Blackpink bulan Maret lalu, melansir Tribunnews, jumlah penonton dari 21 kota yang dikunjungi tersebut sekitar 1.085.024 orang. Bangkok, Thailand, menjadi tempat yang paling banyak penontonnya, yaitu 85.000 orang. Sedangkan, Indonesia berada di urutan kedua dengan jumlah penonton sekitar 70.000 orang.
TXT ACT, David Foster, Coldplay hingga Charlie puth pun telah ada dalam daftar konser yang akan di gelar pada bulan Agustus hingga Desember, dengan harga tiket ratusan sampai belasan juta yang juga telah habis terjual. Bahkan berdasarkan daftar yang dirilis Detik (12-5-2023), harga tiket konser Coldplay yang termahal adalah jenis Ultimate Experience (CAT 1) sebesar Rp11 juta ditambah pajak 15% menjadi Rp13.200.000. Sedangkan tiket yang termurah adalah Numbered Seating (CAT 8) sebesar Rp800.000 yang menjadi Rp960.000 setelah dikenakan pajak.
Nyatanya, promotor bermasalah, harga tiket yang melonjak, calo yang bertebaran, jeratan pinjol, belum lagi potensi sampah dan kerusuhan di beberapa daerah tak pernah memudarkan geliat para pemuja musik dan idolanya.
Rusaknya Kepribadian Pemuda
Digitalisasi tidak hanya membawa teknologi yang bebas nilai. Namun, teknologi digital ditumpangi oleh pemikiran khas ideologi kapitalisme, yaitu sekularisme, liberalisme, hak asasi manusia (HAM), individualisme, dan materialisme.
Digitalisasi tidak sekadar menjadi senjata Barat untuk mengeruk ekonomi umat Islam, tetapi juga menjadi senjata untuk merusak kepribadian para pemuda muslim. Melalui teknologi digital, terjadilah injeksi pemikiran sekuler, pornografi, kekerasan, penyimpangan seksual, gaya hidup individualis dan hedonis, dan bahkan apatis terhadap agama. Akibatnya, para pemuda muslim kehilangan profil Islam.
Para pemuda muslim menjadi sasaran semua produk pemikiran-pemikiran barat yang penuh dengan nilai kebebasan. Melalui dunia digital ide kebebasan, dari gaya hidup hedonisme, konsumerisme, apatis hingga bersikap antipati terhadap nilai dan norma agama sangat mudah sampai ke tengah para generasi muda. Dalam sebuah studi oleh Goldman Sachs menemukan bahwa hampir setengah dari generasi muda terhubung secara daring selama 10 jam sehari atau lebih, terlebih saat pandemi selama kurang lebih dua tahun sehingga proses belajar mengajar dilakukan secara daring.
Melalui gawai yang sebagian besar dimiliki pelajar, segala informasi apa pun juga begitu mudah diakses hanya dengan sentuhan jari, termasuk tersebarnya paham sekuler liberal melalui berbagai kemasan konten.
Durasi yang begitu lama saat bermedia sosial pun menjadikan generasi muda paling mudah terkena efek FOMO (Fear Of Missing Out). Cepatnya informasi yang tersampaikan dari laman sosial membuat generasi ini merasa tertinggal dengan teman-teman sebaya jika tidak mengikuti tren terbaru atau yang sedang viral dan menjadi FYP.
Efek FOMO ini tentu akan mudah memengaruhi generasi untuk mengikuti apa pun yang dilihatnya di media sosial. Tidak heran jika bak suntikan yang membius, media sosial di tangan generasi muda yang tidak memiliki filter agama akan membuat mereka bergaya hidup sekuler liberal, meski “casing“-nya adalah pemuda muslim.
Memang benar bahwa setiap orang (termasuk pemuda) bisa berperan dalam ekonomi digital, tetapi di dalam sistem ekonomi kapitalisme, tetaplah berlaku hukum kekuatan modal. Walhasil, ekonomi digital akan dikuasai oleh korporasi besar karena merekalah yang menguasai modal.
Lantas, bagaimana nasib para pemuda? Memang, pemuda bisa memanfaatkan kemampuannya untuk menghasilkan cuan dalam bisnis digital. Namun, mereka tetap bukanlah pemain utama. Mereka hanya seolah sekrup dalam industri kapitalis raksasa.
Cuan yang mereka dapatkan dari bisnis digital selanjutnya mereka belanjakan pada produk-produk digital. Dengan demikian, dalam arus ekonomi digital, pemuda hanya diposisikan sebagai pangsa pasar para kapitalis. Korporasi raksasa pun mendapatkan keuntungan materi yang luar biasa besar dari jutaan pemuda Indonesia yang menggunakan produk mereka.
Sebaliknya, kerugian dialami oleh para pemuda muslim. Potensi intelektual mereka telah dibajak oleh kapitalisme untuk kepentingan para kapitalis. Akibatnya, mereka kehilangan potensi intelektualnya yang hakiki.
Islam Mengarahkan Potensi Pemuda
Pemuda merupakan fase untuk memberi dan mencurahkan segenap tenaga dan kemampuan untuk memikul segala beban. Oleh karena itu, pemikul panji-panji dakwah dan risalah sejak terbitnya fajrul Islam adalah para pemuda.
“Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhannya, dan Kami beri mereka bimbingan lebih banyak lagi.” (QS Al-Kahfi: 13)
Islam memandang pemuda muslim sebagai orang yang memikul tugas berat dan kewajiban besar terhadap diri, agama, dan umatnya. Suatu kewajiban yang akan menyingkap eksistensinya dan mengoptimalkan potensi dirinya.
Syekh Al-Qaradhawi dalam Wajibu Syababul Muslimul Yaum (1988) menguraikan, ada empat amanah sebagai prioritas pemuda muslim bagi masa depan Islam, yakni (1) memahami Islam secara integral, (2) mengamalkan Islam, (3) mengajak orang lain berislam (berdakwah), dan (4) memiliki soliditas dan solidaritas.
Tuntutan Islam ini menjadi tanggung jawab negara Islam untuk mengoptimalkan potensi pemuda melalui pembangunan. Landasan pembangunan generasi akan bertumpu pada ideologi Islam, termasuk landasan dalam sistem pendidikan. Output pendidikan Islam akan menghasilkan generasi berkepribadian Islam serta menguasai ilmu dan teknologi yang berguna bagi kehidupan.
Kehidupan Islam akan melahirkan generasi hebat serta mampu tampil menjadi pemimpin peradaban mulia. Mereka tidak akan menyia-nyiakan masa mudanya dengan hanyut dalam kesenangan dunia yang semu.
Rasulullah saw. telah memperingatkan, “Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara, yaitu masa mudamu sebelum masa tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, keadaan kayamu sebelum miskinmu, waktu luangmu sebelum saat sibukmu, dan saat hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR Al-Baihaqi)
Dari rahim peradaban Islam lahirlah profil pemuda hebat. Sebut saja kisah Usamah bin Zaid pada usianya yang baru menginjak 18 tahun. Beliau diperintahkan oleh Rasulullah saw. menjadi pemimpin pasukan kaum muslim dalam penaklukan Syam.
Ada juga Ali bin Abi Thalib, seorang pemuda yang masuk Islam pada usia 7 tahun. Saat itu, ia mampu membedakan mana yang benar dan salah. Dengan kecerdasannya, ia selalu membantu Nabi saw. hingga berani menggantikan Nabi saw. saat rumah beliau dikepung tentara Quraisy.
Contoh lain adalah Umar bin Khaththab. Ia masuk Islam pada usia 27 tahun. Sebelumnya, ia menjadi orang nomor satu yang memusuhi Islam, tetapi setelah mendengar QS Thaha, hatinya bergetar dan akhirnya beriman. Semenjak saat itu, Umar mencintai Islam, bahkan menjadi orang terkuat dalam melawan kafir Quraisy. Tidak hanya itu, dengan kepribadian Umar, setan saja takut saat mendengar langkahnya. Tentu kita juga tidak lupa kisah heroik sang penakluk Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih yang diangkat menjadi Sultan pada usianya yang masih belia. Begitu pula kisah Zaid bin Tsabit, pada usianya yang baru 13 tahun sudah mampu berjihad dengan gagah berani. Beliau juga diperintahkan untuk mengumpulkan Al-Quran pada usia 21 tahun. Bisa dibayangkan, ketika para pemuda saat ini memahami Islam dengan benar, mereka bisa menjadi secerdas Ali bin Abi Thalib atau setangguh Umar bin Khaththab, Zaid bin Tsabit, Usamah bin Zaid dan sahabat lainnya.
Oleh sebab itu, melihat potensi pemuda yang besar ini, penting sekali melakukan edukasi kepada para pemuda bahwa mereka adalah salah satu tumpuan agama. Mereka adalah muslim yang akan dimintai pertanggungjawaban tentang masa mudanya dihabiskan untuk apa.
Meskipun saat ini kanalisasi dan propaganda peran pemuda dilakukan begitu rapi, tetapi kalam Ilahi tidak bisa terkalahkan oleh kalam konstitusi. Hanya dakwah Islam kafah yang mampu meluruskan para pemuda hingga mereka menyadari tugas utamanya sebagai makhluk Allah Taala.
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri.’?” (QS Fusilat: 33).
Wallahu’alam
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Sumber: Republika