Salafi Mengharamkan Musik? Ini Fakta Ulama dan Musik yang Harus Diketahui


Ilustrasi bermain musik.

REPUBLIKA.CO.ID, 

JAKARTA — Kaum salafi memandang musik sebagai sesuatu yang tidak boleh. Mereka menggunakan berbagai dalil yang dipahami secara normatif teologis doktriner, sehingga memunculkan kesimpulan yang ‘kaku’, sehingga dianggap berseberangan dengan kultur keislaman banyak orang.

Musik dianggap dapat merusak kekhusyuan sholat. Kemudian musik juga dianggap sebagai wasilah menuju kemaksiatan. Namun apakah musik selalu identik dengan keburukan sehingga harus diharamkan?

Ada beberapa fakta menarik mengenai ulama dan musik dalam dinamika dakwah.

Pertama, cendekiawan Muslim MM Sharif menuliskan sebuah kisah menarik. Suatu ketika ada seseorang di kawasan wilayah Daulah Abbasiyah pada masa kejayaan Islam, tidak mau makan. Juga terlihat lesu dan tidak bertenaga. Tatapannya kosong dan penampilannya tidak rapi. 

Kemudian orang tersebut dibawa ke seorang alim yang dikenal juga sebagai tabib di masa tersebut, yaitu Abu Ya’qub al-Kindi. Si alim tersebut memperhatikan seluruh penampilan, wajah, dan beberapa anggota badan orang sakit tersebut. 

Al-Kindi kemudian memainkan sebuah alat musik yang menghasilkan nada-nada indah didengar. Tiba-tiba orang ‘sakit’ tersebut menggerakkan badannya, tersenyum, dan kemudian mau berbicara. Sejak itu orang tersebut akhirnya mau makan dan bersemangat lagi menjalani hidup. Sembuhlah dia berkat musik yang dimainkan Abu Ya’qub Al-Kindi.

Kedua, musik menjadi bagian dari dakwah Islam di masyarakat sejak ratusan tahun lalu. Ada lagu tombo ati yang liriknya mengandung dasar-dasar keislaman. Juga ada tradisi rebana dan shalawat yang sudah ada sejak lama, jauh sebelum kaum salafi dan wahabi masuk ke Indonesia.

Ketiga, musik merupakan alat yang efektif untuk mengenalkan Islam kepada anak-anak. Lewat lagu, anak-anak menjadi mudah mendapatkan pemahaman keislaman yang dasar. Untuk kemudian mereka kembangkan lebih lanjut.

Jadi apakah musik harus diharamkan?




Sumber: Republika